Sabtu, 19 November 2016

MENILAI KEBUDAYAAN DI MALUKU DARI PANDANGAN AL-KITAB



MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
“ MENILAI KEBUDAYAAN DI MALUKU DARI PANDANGAN AL-KITAB “



 OLEH :
NAMA : ALDO V. B. PUTURUHU
NIM : 2015 – 59 – 021

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
            Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27)
1.     Pela dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua penduduk antar kedua atau lebih Negri yang bersangkutan dan dianggap suci.Ada empat dasar Pela yang harus dipatuhi antara lain:
Negri-Negri yang berpela berkewajiban untuk saling membantu pada masa genting (bencana alam, peperangan dll.)
2.   Jika diminta, maka Negri yang satu wajib memberi bantuan kepada Negri lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, seperti pembanguanan rumah-rumah Gereja, Mesjid dan Sekolah. Bila seorang mengunjungi Negri yang berpela dengan Negrinya, maka orang-orang di negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya, tamu yang sepela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil tanah atau buah-buahan menurut kesukaannya
3.       semua penduduk negeri-Negri yang saling berhubungan Pela itu dianggap sedarah sehingga dua orang yang sepela tidak boleh kawin. Pelanggaran terhadap aturan ini akan dihukum keras oleh nenek moyang yang mengikrarkan Pela itu berupa kutukan seperti sakit, mati dan kesusahan lain yang ditujukan kepada Pelanggar maupun anak-anaknya. Pada masa lalu, mereka yang melanggar pantangan kawin tersebut ditangkap dan disuruh berjalan mengelilingi Negri-Negrinya dengan hanya berpakaian daun-daun kelapa dan dicaci maki oleh penghuni Negri.

            Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan. Adapun jenis-jenis pela di Maluku, anatar lain :

a.       Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negri (kampung) atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperangan antara lain seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu (tak ada yang menang atau kalah perang), atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu Negri kepada Negri lain.

b.      Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu Negri telah berjasa kepada Negri lain.

c.       Pela Ade Kaka
Pela Gandong atau Bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di Negri atau pulau yang berbeda.
            Walaupun pada prinsipnya terdapat penggunaan nama pela, namun pada dasarnya mengandung beberapa unsur :
1)      Didasarkan Ikatan Perjanjian yang Kuat Secara Adat dan Agama (dibawah sumpah)Merupakan Unsur Persatuan yang kekal, dilandaskan juga oleh Pengakuan Bersama Secara Sadar dan Berlaku Secara Turun Temurun
2)      Suatu ikatan tanpaPerbedaan. Baik itu membedakan orang per orangan, kasta, keturunan, kelas sosial dan sebagainya. Dalam artian semua memiliki tanggung jawab dan hak yang sama
3)      Adalah janji dan sumpah leluluhur Maluku yang perlu dilestarikan dan menjadi pedoman didalam bermasyarakat khususnya di Tanah Maluku.
4)      Istilah Gandong adalah suatu persaudaraan atas ikatan darah. Sebagai masyarakat Maluku, kita perlu sadar bahwa kita adalah satu darah dari keturunan leluhur kita. 
            Oleh sebab itu Penggunaan Pela Gandong adalah sutau kesatuan yang merangkum jenis ikatan yang ditumbuh kembangkan di Maluku sejak leluhur kita semua.
1.2 Rumusan Masalah
            Adapun masalah penilitian yang dapat dirumuskan adalah “ Bagaimana Pandangan Alkitab tentang Hubungan Pela Gandong antara Neg’ri Latuhalat dan Neg’ri Allang “
1.3 Tujuan dan Manfaat Penilitian
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan gereja serta kaitan alkitab tentang hubungan pela gandong yang sudah menjadi budaya masyarakat Maluku.
            Manfaat dari penelitian ini agar umat Kristiani tidak percaya pada roh-roh iblis melainkan kepada Tuhan Allah.

BAB II
ISI
2.1 Hikayat Pela
            Pela diantara Negeri Latuhalat dan Negeri Alang , ini merupakan salah satu pela yang tertua diseluruh Maluku, sebab pela ini terjadi sebelum kedatangan Bangsa Portugis dan Belanda di Maluku. Saat itu Maluku masih dibawah pemerintahan Hindu. Pada satu ketika ada seorang anak keturunan Bangsawan dari Negeri Alang , yang bernama Huwae Lili Tupa berjalan dengan para pengikutnya berburu atau dan berpetualang di sekitar pulau Ambon. Ketika anak Bangsawan Alang itu sampai ke Latuhalat , dan berjalan dipesisir pantai Malulang, saat itu anak Bangsawan Alang atau Huwae Lili Tupa ini, melihat ada seorang gadis yang cantik jelita sehingga anak Bangsawan jatuh cinta terhadap gadis tersebut.

            Sesudah anak Bangsawan ini kembali pulang ke Alang maka ia disambut oleh orang tuanya sambil menanyakan hasil perburuhan dan apa yang ia dapat dalam perjalanannya itu. Maka anak Bangsawan itu memberitahukan kepada ibu dan bapanya ; bahwa ia telah melihat seorang gadis yang cantik jelita di negeri Latuhalat, sambil ia memohon agar supaya orang tuanya mau datang ke Latuhalat untuk melamar gadis tersebut untuk menjadi istrinya.

            Ketika mendengar permintaan anak mereka, maka setujuhlah orang tuanya untuk datang ke Latuhalat untuk melamar gadis tersebut untuk menjadi isteri anaknya. Akhirnya orang tua dari Bangsawan Huwae Lili Tupa ini mengumpulkan keluarganya serta para Bangsawan Alang, untuk memberitahukan maksud dan keinginan dari anak mereka. Setelah keluarga dan para Bangsawan Alang mendengar maksud dan tujuhan dari anak itu, maka mereka semua setuju.
Maka datanglah keluarga dari Huwae Lili Tupa dengan beberapa Bangsawan Alang untuk bertemu dengan orang tua dari gadis tersebut, ketika kabar ini di dengar oleh orang tua anak gadis itu , maka mereka memanggil keluarga dan Bangsawan Latuhalat berkumpul dirumah anak gadis itu untuk menantikan tamu Agung itu. Setelah orang tua dari anak Bangsawan dan orang-orang Bangsawan Alang tiba di Malulang dirumah anak gadis itu , maka mereka disambut oleh keluarga dari anak gadis dengan tata cara Adat Istiadat yang dipakai di Latuhalat. Sesudah itu maka mereka diberi kesempatan untuk memberitahukan maksud dan tujuhan kedatangan mereka itu. Maka mulailah mereka menyampaikan maksud dan tujuhan mereka, bahwa kedatangan mereka itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melamar anak gadis mereka, untuk menjadi isteri dari ananknya yang bernama Huwae Lili Tupa.
            Setelah keluarga dan para Bangsawan dari gadis itu mendengar maksud dan tujuannya,maka mereka mengabulkan permintaan dari keluarga Huwae Lili Tupa tersebut, dan menentukan hari pernikan dari kedua anak mereka. Sesudah selesai segala perundingan diantara kedua bela pihak, maka orang tua dan orang-orang Bangsawan Alang itu kembali ke Alang.

            Setelah tamu-tamu agung itu pulang, maka moyang Sakti Tawan mencurahkan perasaannya kepada orang tua anak gadis itu dan orang-orang yang berada disitu, bahwa moyang Sakti Tawan enggan memberikan anak gadis itu untuk menjadi isteri dari anak Bangsawan Alang. ketika didengar oleh orang tua dari anak gadis itu serta orang-orang Bangsawan tersebut , maka mereka merasa malu kepada orang tua dan Bangsawan-bangsawan Alang, lalu moyang Sakti Tawan menyampaikan maksudnya : "Bahwa ia bermaksud membuat satu patung ( boneka ) yang serupa dengan anak gadis itu untuk diserahkan menjadi isteri dari anak Bangsawan Alang ( Huwae Lili Tupa ) tersebut. Sesudah mereka mendengar maksud dari moyang Sakti Tawan ini , maka mereka semua setujuh, setelah moyang Sakti Tawan mendengar bahwa mereka semua setujuh dengan maksudya maka moyang Sakti Tawan memberikan perintah kepada hamba-hambanya pergi menebang sebatang pohon sagu yang ada didalam dusun Waaipuang, kemudian membelah batang sagu dan mengambil isi dari batang sagu itu yang di sebut Meor, untuk diserahkan kepada moyang Sakti Tawan.
Ketika hamba-hambanya membawa isi batang sagu itu datang dan diserahkan kepada moyang Sakti Tawan , maka mulailah moyang Sakti Tawan mengukirkan hati batang sagu tersebut sehingga serupa dan sepadan dengan anak gadis tersebut. Patung ( boneka ) itu bisa berjalan, bisa duduk, bisa merokok dan tersenyum, tetapi tidak bisa berbicara.

            Setelah itu moyang Sakti Tawan memerintah hamba-hambanya lagi untuk pergi memotong kayu untuk membuat Arangbai (Perahu) untuk mengangkut Patung (boneka) tersebut keluar dari negeri Latuhalat ke Alang. Sesudah Patung dan Arangbai itu selesai. Maka salah seorang bertanya kepada moyang Sakti Tawan: " Apakah Upu punya Arangbai itu sudah betul ?lalu moyang Sakti Tawan memeriksa Arangbai itu lagi, maka moyang Sakti Tawan melihat bahwa kurang satu lobang diujung bagian belakang Arangbai tersebut, kemudian moyang Sakti Tawan berkata kepada itu orang bahwa: “ mulai dari hari ini Upu dan turunan Upu bernama SOPLANTILA yang artinya Mata Suanggi ".

            Setelah tiba hari pernikahan, maka datanglah orang tua dari anak Bangsawan Alang yang diiring oleh berapa orang Bangsawan datang dengan Arangbai ke Latuhalat dan singga di pelabuhan Malulang tempat kediaman anak gadis tersebut. Sesudah mereka sampai di Malulang, maka mereka disambut oleh orang tua dari gadis tersebut, dengan beberapa orang Bangsawan juga, dengan kebiasan menurut ada istiadat dari tiap negeri di Maluku. Sesudah itu , Arangbai yang disediakan untuk anak gadis itupun telah tersediah dengan orang-orang yang harus mengantarkan anak gadis itu ke Alang, sebelum mereka meminta ijin untuk kembali ke Alang, moyang Sakti Tawan telah menunjuk seorang dayang yang di percayai untuk duduk bersama-sama dengan gadis itu didalam Arangbai itu, dan memberi perintah bagi dayang tersebut: " Bahwa jikalau mereka sudah sampai di tanjung yang bernama Hattu dan kamu perhatikan jikalau patung ( boneka ) itu menundukan mukanya kedalam laut , maka dayang itu harus mengangkat dari belakang dan membuang Patung itu kedalam laut, jangan sampai tiba di Alang.
Sesampainya mereka di tanjung Nama Hattu itu , maka dengan segera Patung ( boneka ) itu menunduk mukanya kedalam air laut dan pada saat itu juga dayang itu melakukan perintah dari moyang Sakti Tawan itu. Patung ( boneka ) itu jatuh kedalam laut dan tenggelam, lalu dayang itu berteriak dengan suara yang keras dan terkejut , bahwa tuan Puteri sudah tenggelam. Ketika anak Bangsawan Huwae Lili Tupa mendengar bahwa isterinya telah tenggelam , maka dengan tidak ragu-ragu lagi ia terjun kelaut untuk menolong isterinya itu.Tetapi sayang ia tidak mendapatkan isterinya yang tenggelamg itu , melainkan tubuh anak Bangsawan Huwae Lili Tupa itu telah berubah menjadi Buaya. Pada waktu yang bersamaan anak gadis yang bersembunyi di Malulangpun tubuhnya berubah menjadi Buaya tembaga yang ada sampai saat ini didalam Mata Rumah yang sekarang memakai Fam Lekatompessy.
            Sesudah tiga hari lamanya baru Patung ( boneka ) itu terdampar dimuka pelabuhan LELIBOY . Ketika orang Leliboy mendapatkan Patung ( boneka ) itu,merka berkata:" Bahwa Alang mata buta kawin MEOR disangka orang.
Dengan kejadian yang terjadi , maka datanglah orang tua dan orang-orang Bangsawan Alang ke Latuhalat untuk mengangkat satu perjanjian persaudaraan yang disebut Pela antara NEGERI LATUHALAT dan NEGERI ALANG. Dengan perjanjian-perjanjian seperti berikut:
- Segala anak2 cucu dari Alang dan Latuhalat mau masuk dan keluar tidak boleh saling kawin mengawini
- Siapapun anak-anak dan cucu yang melanggar perjanjian ini maka ia akan mati.
- Jikalau ada anak laki-laki yang langgar perjanjian ini, baik dari Latuhalat maupun dari Alang maka dia harus mati.
Pela antara Alang dan Latuhalat ini terjadi kira-kira pada tahun 1356 sebelum Portugis dan Belanda menduduki Maluku. Inilah hikayat dari Pela Kras(pela kawin) antara negeri Alang dan Latuhalat.
Dengan perjanjian atau sumpah yang di lakukan oleh negeri Alang dan Latuhalat, maka sampai saat ini terjadi hal seperti itu,yaitu keterikatan dengan sumpah. Padahal kalau dilihat negeri Alang dan Latuhalat, 100% penduduknya sekarang percaya Yesus Kristus sebagai Juruselamat. “Allah bekerja melalui budaya dan ketika manusia di pulihkan maka budayanya pun akan dipulihkan? Inilah yang menjadi pertanyaan, apakah benar itu terjadi ataukah kehidupan masyarakatnya yang belum sepenuhnya percaya benar dan Kristen merupakan simbolisasi saja?
Banyak orang melihat pela kawin ini adalah baik. Apakah iya baik? Masih terdapat kasus-kasus yang terjadi jika terjadi pelanggaran dalam perjanjian pela kawin, sehingga kehidupan seakan tidak merdeka. Kehidupan kita bebas jika kita memilih hidup membangun rumahtangga dengan orang yang tidak ada ikatan pela kawin dengan kita. Tetapi kehidupan seperti ini tidak dirasakan oleh para pasangan yang memiliki hubungan percintaan dengan pasangan yang juga memiliki hubungan pela kawin, mereka di kucilkan dan lain sebagainya apakah ini merupakan kutukan?.
            Perlu adanya pembaharuan dalam kehidupan negeri Alang dan Latuhalat, sehingga bukan lagi kutukan yang tejadi. Melainkan dengan adanya kejadian di masa lampau dapat memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat saat ini yang hidup di jaman modern, khususnya generasi muda. Yang harus dilakukan kedepannya adalah bagaimana “Pela Kawin” itu tidak menjadi suatu kutukan lagi dalam kehidupan masyarakat kedua negeri. Artinya tidak meninggalkan adat istiadat tetapi keluar dari paradikma dan cara berpikir kehidupan para leluhur kita yang ada di masa lampau, karena tidak semua keputusan yang diambil adalah baik, kalau kita melihat dari hikayat terjadinya “Pela Kawin” maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa: Mengapa perjanjian itu tidak hanya berlaku kepada kedua keluarga yang mengalami saja? Tidak untuk semua keluarga, seperti yang terjadi di tempat daerah lain
2.2              Menilai Dan Mengukur Kebudayaan Menurut Firman Tuhan

            Jika kita menilai dan mengukur kebudayaan “Pela Kawin” antara Alang dan Latuhalat, maka “Pela Kawin” antara Alang dan Latuhalat tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, mengapa:
- Karena pada saat itu para leluhur kita belum mengenal Yesus Kristus, sehingga mereka mengangkat suatu perjanjian yang menjadi kutuk bagi anak cucu.
- Kehidupan mereka masih terikat dengan roh-roh okultisme.
Alkitab mengatahkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan roh iblis atau kuasa kegelapan dilarang dan dapat dihukum mati (Imamat 19, 26, Yeremia 27:1-10 dan Wahyu 21:8). Sehingga yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang sudah percaya dan menerima Yesus sebagai Juruselamat adalah bagaimana menempatkan Allah diatas budaya sehingga kebudayaan itu tidak negatif karena dosa dan dilakukan dalam diri dosa.

            Kalau ini yang terjadi maka kita dengan tegas akan menolak segalah sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan yaitu roh-roh okultisme itu. Dalam hal ini “Pela Kawin”mungkin tidak begitu dirasakan oleh masyarakat Alang dan Latuhalat bahwa didalamnya ada kepercayaan roh okultisme itu, karena mereka masih melihat hal ini sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja, tidak ada ritual-ritual khusus, tetapi harus menjunjung tinggi apa yang telah dilakukan oleh para leluhur kita. Sehingga kalau kita menanyakan tentang hal ini maka pasti akan mendapat jawaban “ jang maeng maeng deng orang tatua pung sumpah” artinya jangan menganggap remeh apa yang telah diikrarkan oleh para leluhur kita. Apalagi gereja seakan-akan belum berani untuk masuk dan berkontekstualisasi dengan masyarakat yang ada. Mungkin hal ini yang membuat masyarakat tetap bertahan dengan apa yang ada.
            Untuk itu kita harus berani melakukan terobosan yaitu berani mengambil sikap sebagai orang-orang yang merdeka yang sudah terlepas dari kutuk dosa keturunan untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang “Pela Kawin” dengan cara-cara yang tidak menghilangkan atau meninggalkan arti sesungguhnya dari budaya tersebut,dan tidak hidup didalam kutukan itu,misalnya;
- Adakan pertemuan dengan pemuka-pemuka adat dan agama untuk membahas dan mencari jalan keluar untuk masalah ini, apalagi masyarakat dari kedua bela pihak Alang dan Latuhalat sudah menjadi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
- Bersatu hati adakan Doa pelepasan terhadap keterikatan dengan kutuk dosa yang telah dilakukan oleh para leluhur kita.
- Tetap melestarikan Pela itu dengan panas Pela. Akan tetapi tidak ada lagi kutukan didalamnya. Sehingga barang siapa yang ingin membangun hubungan percintaan diantara kedua bela pihak, tidak akan takut lagi terhadap kutukan atau perjanjian yang dilakukan oleh para leluhur kita. 
Mungkin ini adalah metode rekulturasi yang dapat kita lakukan dalam “Pela Kawin” antara Alang dan Latuhalat sehingga menggantikan sesuatu ketakutan dengan pengertian yang baru, sehingga kita dapat melihat anak cucu kita tumbuh dalam kebebasan mereka, tanpa harus takut dengan ikatan-ikatan yang ada. Melainkan bersandar kepada Alkitab yang adalah firman Allah, Yesus Kristus adalah Allah dan satu-satunya Juruselamat dan Roh Kudus adalah Allah, Penolong, Pembimbing dan Pemberi hidup berkemenangan.
BAB III
PENUTUP
2.3  Kesimpulan
Kehidupan Masyarakat di neg’ri Latuhalat dan Neg’ri Alang masih terikat dengan Roh-Roh Okultisme. Maka dari itu bersandar kepada Alkitab yang adalah firman Allah, Yesus Kristus adalah Allah dan satu-satunya Juruselamat dan Roh Kudus adalah Allah, Penolong, Pembimbing dan Pemberi hidup berkemenangan
2.4  Saran
Kiranya dari Makalah ini dapat menyadarkan masyarakat Maluku, terutama umat Kristiani. Untuk berpegang teguh terhadap Alkitab yang adalah Firman Allah “ Ya dan Amin “
Daftar Pustaka

https://tiwipratiwi07.wordpress.com/2012/01/12/suku-ambon/
http://voordiasaja.blogspot.co.id/2011/08/melihat-pela-kawin-antara-negeri.html
Wikipedia bahasa Indonesia- ensiklopedia bebas
Hikayat Pela Negeri Latuhalat dan Negeri Alang
Internet -User: Justice @anak Kolong
Prof. DR. M.G. Ohorella, SH -Modifikasi Bentuk – Isi fungsi – Lembaga Pela dan Gandong”
Prof. Dr. J.E. Lokollo, SH- Modifikasi Bentuk – Isi – Fungsi Pela dan Gandong dalam Kerangka Sistem Pengendalian Sosial
Drs Frans Hitipeuw- SEJARAH RINGKAS PELA PELA
"PELA" Cerita Rakyat Daerah Maluku yang dikeluarkan oleh DEP PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KANTOR WILAYAH PROVINSI MALUKU. (Mathys Huliselan)


Maaf, jika didalam penulisan terdapat kekurangan serta kekeliruan. Mohon dimaklumi, dan kiranya kita dapat berbagi Pengetahuan. Sekian dan Terima Kasih !

Metode Pengolahan Daging




TUGAS
“ TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TERNAK “



 OLEH :
NAMA : ALDO V. B. PUTURUHU
NIM : 2015 – 59 – 021

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
1.      Metode Pengolahan Daging
a)      Penggaraman (Curing)
Penggaraman (curing) adalah cara pengolahan dan pengawetan daging dengan menambahkan bahan seperti garam NaCl, Na-nitrit atau Na-nitrat, dan gula. Curing bertujuan mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging selama pengolahan serta memperpanjang masa simpan produk daging (Soeparno, 1992). Proses penggaraman daging dengan nitrit berperan sangat penting yaitu bereaksi dengan mioglobin membentuk nitrosomioglobulin yang diubah menjadi nitrosochemochrome, sehingga menyebabkan warna daging jadi merah. Bersama dengan garam dapur, nitrit atau nitrat berperan sebagai pengawet dengan cara menurunkan Aw produk.
b)     Penggilingan
Daging sapi yang telah berbentuk potongan-potongan kecil, kemudian dilakukan pelumatan/ penggilingan. Tujuan proses penggilingan/pelumatan daging/ikan adalah untuk meperkecil ukuran daging menjadi partikel-partikel yang ukurannya homogen. Sehingga bila dicampur dengan bumbu-bumbu, maka bumbu tersebut akan tercapur rata dengan adonan. Tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan “tenderness” yang baik pada produk akhir. Proses penggilingan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggilingan khusus yang banyak dijumpai di pasar atau menggunakan “food processor” yang telah banyak diperdagangkan. Alat penggiling khusus seperti yang telah banyak di jumpai di pasar mempunyai kelebihan yaitu dapat menggiling lebih halus dan lebih homogen. Ditempat tersebut juga biasanya
menerima jasa penggilingan daging dengan biaya relatif murah. Dengan demikian apabila kita tidak mempunyai alat “food processor” di rumah, maka kita dapat menggiling daging ketempat tersebut. Proses penggilingan menggunakan alat penggiling megandung resiko akan menimbulkan panas selama proses penggilingan. Panas tersebut dapat disebabakan oleh adanya gesekan antara daging atau adanya gesekan daging dengan alat penggiling. Untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu selama proses penggilingan, ditambahkan potongan-potongan es batu. Dengan demikian kenaikan suhu selama proses penggilingan, dapat dicegah tidak melebihi 16°C (Tatono, 1994). Pendinginan ini bertujuan untuk mencegah denaturasi protein aktomiosin oleh panas. Air es  digunakan untuk mempertahankan temperatur selama pendinginan. Air es selain berfungsi sebagai fase pendispersi dalam emulsi daging, juga berfungsi untuk melarutkan protein sarkoplasma dan sebagai pelarut garam yang akan melarutkan protein
myofibril (Afrisanti, 2010).

c)      Sterilisasi
Pada Metode ini ada terbagi atas 4 jenis, yaitu ;
  • ·         Pengolahan Sterilisasi Secara Kering
Sumber panas dalam kategori ini termasuk dalam oven udara panas, minyak goreng dalam produk, dan permukaan panas pada penggorengan produk. Udara panas bisa mencapai hingga 200°C, memungkinkan transfer panas yang signifikan terhadap produk. Namun, laju perpindahan panas selama penggorengan lemak lebih besar karena media minyak memungkinkan transfer panas yang lebih baik bila dipanaskan pada suhu antara 150 and 190 °C.
  • ·         Pengolahan Sterilisasi Secara Lembab
Sumber panas yang biasanya media panas cair, seperti air atau uap.  pemanasan air bisa mencapai hingga 100°C (titik didih), menunjukkan perpindahan panas yang signifikan terhadap produk. Perlakuan panas lembab di lingkungan tertutup memungkinkan suhu ruang dari 120-125°C, mengubah karakteristik produk. Suhu tinggi yang diamati dalam proses seperti pengalengan, pemasakan, dan tekanan memasak. Memasak pada suhu gelatinisasi lebih tinggi menyebabkan kolagen, karena itu perlu memodifikasi karakteristik produk daging yang kaya kolagen. Memasak dengan Uap dapat mencapai suhu pemanasan 100 ° C, namun perpindahan panas lebih baik dari suhu panas air, karena panas laten dari uap kondensasi membantu dalam pemanasan produk.
            Dalam beberapa produk daging olahan termal, kombinasi dari pemanasan kering dan lembab (kelembaban meningkat) teknik pemanasan diterapkan untuk mempertahankan karakteristik produk dan mencegah hilangnya kelembaban yang berlebihan dari produk. Dalam aplikasi pengolahan daging yang khas, kelembaban dicapai melalui penguapan air oleh tetesan ke kumparan pemanas hambatan listrik atau melalui uap.
  • ·         Pengolahan Sterilisasi Menggunakan Microwave
Pengolahan menggunakan microwave didasarkan pada penggunaan spektrum elektromagnetik. Frekuensi yang biasa digunakan untuk pemanasan microwave antara 915 dan 2450 MHz, dengan panjang gelombang dari 32,8 cm dan 12,25. Suhu produk akhir yang dicapai tergantung pada energi yang diberikan dan biasanya tidak lebih tinggi dari 100° C. Penggunaan 915 MHz menghasilkan produk yang lebih konsisten terhadap pemanasan, sebagaimana frekuensi ini menghasilkan dua puncak, satu di permukaan dan satu di tengah. Penggunaan gelombang mikro dalam pengolahan daging komersial sangat terbatas dan eksklusif digunakan dalam pengolahan daging siap saji.
Keuntungan dari pemanasan microwave meliputi kecepatan, tingkat selektivitas yang luas, kontrol yang mudah, dan penggunaan energi yang lebih rendah. Sebaliknya, ada keterbatasan, yang meliputi kapasitas terbatas yang tergantung pada jumlah beban, pemanasan pengukusan yang berlebihan (menghasilkan sogginess dalam beberapa produk), fokus di daerah hangat produk (mempengaruhi keseragaman), keterbatasan dalam bahan hanya pada satu  produk (tidak dapat memanfaatkan kontainer logam), dan penerapan terbatas sehingga terjadi  kecoklatan.
  • ·         Kombinasi Pengolahan Sterilisasi
Beberapa proses komersial menggabungkan metodologi termal kering dan lembab untuk mencapai karakteristik tertentu dalam produk daging. Sebagai contoh, dalam produksi sosis, tahap awal pemasakan adalah karakteristik dari pengolahan termal kering, diikuti dengan langkah-langkah di mana uap diinjeksikan untuk mempercepat proses pemasakan. Produk lain dapat menggunakan panas kering untuk mengembangkan rasa tertentu, diikuti dengan penggunaan pemasakan lembab untuk mencapai suhu akhir yang diinginkan untuk menghancurkan mikroorganisme.
Peralatan pengolahan termal yang digunakan untuk pembuatan produk daging secara luas dapat dibagi menjadi dua kategori dasar: batch dan kontinyu. Sistem memasak dengan batch, produk dimuat ke dalam oven, dimasak, dan dibongkar sebagai batch tunggal. Komponen oven batch pada dasarnya terdiri dari sistem pemanas dan pendingin, sistem sirkulasi udara, suhu dan kelembaban sistem kontrol, dan peredam untuk memastikan distribusi yang tepat dari media pemanas / pendingin atau udara di dalam oven ketika dimuat. Sebagian besar oven batch yang memiliki kemampuan untuk mendinginkan produk menggunakan air dingin atau sistem air garam, dan produk ini kemudian pindah ke kamar berpendingin untuk mendinginkan produk. Kapasitas oven ini berkisar luas dari 150 sampai 25.000 kg berdasarkan kapasitas produksi yang diperlukan dan jenis produk olahan. Dalam sistem memasak terus menerus, fungsi memasak dan pendinginan yang terintegrasi ke dalam sebuah unit tunggal dengan beberapa zona. Produk dimuat dalam sistem pengangkutan dan dipindahkan melalui salah satu atau beberapa zona memasak, dan kemudian melalui zona pendinginan. Produk ini biasanya dibawa oleh rantai, balok berjalan, atau sabuk konveyor.

d)     Pendinginan
Cara pengawetan daging dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu pendinginan (cooling) dan pembekuan (freezing). Pendiginan adalah penyimpanan daging di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Sedangkan pembekuan adalah penyimpanan daging dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu sedangkan pembekuan bisa sampai berbulan-bulan. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam daging. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan daging tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika daging beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya.

e)      Binding ( Pengikatan )
Bahan pengikat memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan dapat meningkatkan emulsifikasi lemak dibandingkan dengan bahan pengisi. Bahan pengikat dalam adonan emulsi dapat berfungsi sebagai bahan pengemulsi. Bahan pengikat juga berfungsi mengurangi penyusutan pada waktu pengolahan dan meningkatkan daya ikat air. Protein dalam bentuk tepung dipercaya dapat memberikan sumbangan terhadap sifat pengikatan. Pengikat terdiri menurut asalnya bahan dari bahan pengikat yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Bahan pengikat hewani antara lain susu bubuk skim dan tepung ikan.

f)       Casing
Selongsong (Casing) adalah bahan pengemas sosis yang umumnya berbentuk silindris. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan pengangkutan serta sebagai media display selama diperdagangkan. Penggunaan casing dalam pembuatan sosis bertujuan untuk membentuk dan menjaga stabilitas sosis serta melindungi dari kerusakan kimia seperti oksidasi, mikroba, atau kerusakan fisik seperti ketengikan.
Terdapat 5 jenis casing yang sering digunakan dalam pembuatan sosis yaitu alami, kolagen, selulosa, plastic, serta logam. Casing alami biasanya terbuat dari usus alami hewan, casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi dan melekat pada produk, sedangkan kerugian dari casing ini adalah produk ini tidak awet. Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar, keuntungan dari jenis casing ini dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan dari casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Kekurangan dari casing ini adalah sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Proses pembuatan sosis fermentasi meliputi tahapan persiapan, chilling/ freezing, pemberian bumbu dan pencampuran, filling/ pengisian, fermentasi, pengasapan aging/ drying, dan penyimpanan.

g)      Pengasapan
Pengasapan bersifat pengawetan karena ada penyimpanan/ penimbunan di permukaan daging senyawa kimia seperti formaldehida, asetaldehida, aseton diasetil, methanol, etanol, fenol, asam-asam format dan asetat, furfural dehida, resins, bahan lilin, ter dan bahan lain yang semua bahannya terdapat pada produk yang diasap dengan konsentrasi berbeda. Proses pengasapan konvensional yaitu dengan menggantungkan produk dalam rumah pengasapan selama 4-8 jam pada suhu 35-40°C atau meletakkan beberapa jam dalam suatu ruangan dimana asap disalurkan dari pembangkit asap yang terdiri dari suatu roda penggiling dan suatu tongkat kayu.
2.      Produk – produk pengolahan Daging
a)      Nugget
Nugget biasanya dibuat dari daging ayam tetapi semua daging bisa dibuat nugget. Bahan untuk membuat nugget adalah daging, garam, bumbu-bumbu, tepung, kuning telur, bisa ditambahkan susu full cream dan lain-lain. Proses pembuatannya meliputi tahap penggilingan daging, pembentukan adonan (campur dengan bumbu dan bahan lainnya), pencetakan dan dikukus selama 45 menit, pemotongan, pelapisan dan penggorengan.
b)     Bakso
Bakso merupakan produk olahan daging yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Tahapan pembuatannya meliputi curing (bila diperlukan), penggilingan, pembuatan adonan, pembentukan bulatan dan perebusan hingga bulatan bakso mengapung. Bahan-bahan yang digunakan adalah daging, tepung, STPP, garam dan bumbu-bumbu.
c)      Dendeng
Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Dendeng termasuk makanan semi-basah, yaitu mengandung kadar air antara 15 – 50%. Dendeng juga merupakan produk olahan daging yang diproses secara kombinasi antara curing dan pengeringan. Dendeng ada dua jenis, yaitu dendeng iris dan dendeng giling.
            Dendeng iris dibuat dengan mengiris dendeng kira-kira setebal 3 mm kemudian dicampurkan dengan bumbu-bumbu dan curing selama satu malam. Kemudian dendeng dijemur hingga kering. Pengeringan bisa dilakukan dengan menggunakan oven.
            Pembuatan dendeng giling adalah diawali dengan menggiling daging yang kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu. Selanjutnya dibentuk lembaranlembaran dengan ketebalan lebih kurang 3 mm.
d)     Standar Produk Olahan Daging
  • ·         Nugget
Jenis Uji 

Persyaratan 
Keadaan 


-       Aroma 
-       Rasa 
-       Tekstur 
Air                
Protein           
Lemak           
Karbohidrat   
Kalsium        

%,b/b 
%,b/b 
%,b/b 
%,b/b  mg/100g 
Normal, sesuai label 
Normal, sesuai label 
Normal 
Maks.60 
Min.12 
Maks.20 
Maks.25 
Maks.30 

            Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2002) 
  • ·         Bakso
No
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan
- Bau
- Rasa
- warna
- tekstur

--
--
--
--

Normal, khas daging
Gurih
Normal
kenyal
2
air
% b/b
Maks. 70,0
3
Abu
% b/b
Maks. 3,0
4
protein
% b/b
Min. 9,0
5
lemak
% b/b
Maks. 2,0
6
boraks
--
Tidak boleh ada
7
Bahan tambahan makanan sesuai dengan SNI.01-0222-1537 dan revisinya
8
Cemaran logam
-          Timbal (pb)
-          Tembaga (cu)
-          Seng (zn)
-          Timah (sn)
-          Raksa (hg)

Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg

Maks. 2,0
Maks. 20,0
Maks. 40,0
Maks. 40,0
Maks. 0,03
9
Cemaran arsen (as)
Mg/kg
Maks. 1,0
10
Cemaran mikroba
-          angka lempeng total
-          bakteri bentuk koli
-          escherchia coli
-          enterococci
-          perfringens
-          salonella
-          staphylococcus aureus

Koloni/g
APM/g
APM/g
Koloni/g
Koloni/g
--
Koloni/g

Maks 1x105
Maks. 10
<3
Maks. 1x103
Maks. 1x102
Negatif
Maks. 1x102
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995)
  • ·         Dendeng
Jenis Uji
Persyaratan
Mutu I
Mutu II
Warna dan bau
Khas dendeng
Khas dendeng
Kadar air (berat/berat basah)
Maks 12%
Maks 12%
Kadar Protein (Berat/bahan kering)
Min 30%
Min 25%
Abu (Berat/bahan kering)
Maks 1%
Maks 1%
Benda asing (Berat/bahan kering)
Maks 1%
Maks 1%
Kapang dan serangga
Tidak Nampak
Tidak Nampak

   









  Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1992).




Daftar Pustaka

http://de-blonx.blogspot.co.id/2010/05/pengolahan-daging.html ( Diakses tanggal 29 September 2016 )

Maaf, apalabila ada kekurangan serta kekeliruan dalam penulisan ! Marilah kita saling membangun dalam Pengetahuan !